Ketika Hansi Flick ditunjuk menangani Bayern Muenchen pada November 2019, situasi di klub raksasa Jerman ini sedang dalam krisis. Kurang dari setahun, pelatih berusia 55 tahun ini berhasil mengubah Die Rotten menjuarai treble: Liga Champions, Bundesliga, dan DFB Pokal. Flick pun menikmati debut terbaik dalam sejarah pelatih sepakbola sepanjang masa. Bayern seperti tanpa kemudi saat dihancurkan Eintracht Frankfurt 1 5 pada November lalu.
Moral para pemain tampak anjlok, sedang lawan yang kualitasnya biasa biasa saja, tiba tiba terlihat sangat kuat. Usai timnya dibantai di Venue Deutsche Bank Park pada 2 November tahun lalu, Niko Kovac pun ditendang dari kursi kepelatihan. Hansi Flick tadinya hanya ditunjuk sebagai pelatih sementara, sebelum Die Rotten menemukan pelatih permanen untuk jangka panjang.
Sebelumnya dia adalah asisten pelatih Kovac, dan juga pernah jadi asisten pelatih timnas Jerman, Joachim Loew selama delapan tahun, termasuk saat mereka juara di Piala Dunia Brasil 2014 lalu. Tak ada yang membayangkan, pelatih sementara ini ternyata bisa membawa Bayern ke level tertinggi, meraih treble, mengulangi pencapaian pelatih legendaris, Jupp Heynckes pada 2012 2013. Tak pernah ada yang menyangka pula, pelatih sementara ini menorehkan debut terhebat di era sepakbola modern.
Selama sepuluh bulan pertamanya di Die Roten, Flick berhasil mempersembahkan tiga trofi juara. Jalan yang dilaluinya jelas lebih menantang dari treble nya Pep Guardiola bersama Barcelona (2008 09), dan Luis Enrique bersama Barcelona (2014 15). Duo pelatih terakhir ini menjalani persiapan jauh lebih matang di musim pertamanya, dengan menjalani pra musim, dan mendapatkan tambahan pemain yang signifikan.
Dikutip dari tulisan Janek Speight di situs DW, pelatih PSV, Guus Hiddink (1987 88), dan Pelatih Ajax, Stefan Kovacs (1971 72) juga berhasil treble di musim debutnya dalam era sepak bola "konvensional". Namun, patut digarisbawahi, tak ada satupun dari jejeran pelatih hebat itu yang meraih tiga trofi dalam status saat timnya sedang kritis di pertengahan musim. Apa yang jadi resep keberhasilan Flick hingga begitu sakti mengubah Bayern?
Tanda tanda keemasan itu mulai muncul dalam debutnya saat Bayern menggilas rivalnya, Borussia Dortmund 4 0. Ya, setelah dipermalukan 1 5 oleh Frankfurt, Flick langsung memberikan hiburan baru dengan dua kemenangan beruntun lewat skor identik 4 0. Setelah Dortmund, korban berikutnya adalah Fortuna Duesseldorf.
Memang, setelah itu Bayern sempat kalah beruntun dua kali. Masing masing ditekuk Leverkusen 1 2, dan Borussia M'Gladbach 1 2 pada 7 Desember 2019. Setelah itu, tak ada lagi kekalahan. Ya, di berbagai kompetisi Die Rotten terus melaju dengan kemenangan. Hanya sekali mereka tertahan 0 0 oleh Leipzig. Selebihnya menang, dan menang. Termasuk juga di Liga Champions ini. Kemenangan 1 0 atas Paris Saint Germain lewat gol Kingsley Coman di final Liga Champions kemarin (24/8) menjadi kemenangan ke 11 tanpa putus mereka di panggung terbesar antarklub Eropa musim ini.
Die Roten mengukuhkan diri sebagai tim pertama yang mampu menyelesaikan satu edisi UCL dengan memborong 100 persen kemenangan. Catatan beruntun tersebut menjadi rekor baru dalam sejarah kompetisi, melampaui sepuluh kemenangan beruntun Real Madrid pada 2014 15 dan Bayern sendiri pada 2013. Flick tak hanya mengembalikan Bayern ke jalur kemenangan. Lebih dari itu, dia telah mengembalikan ruh Die Rotten sebagai tim yang terstruktur: tekanan tinggi, umpan umpan pendek, ketengan bermain, penguasaan bola, dan serangan balik cepat, semua itu menjadi andalan Bayern.
Namun hal paling besar yang dirombak Flick di Bayern adalah membangun kembali kepercayaan. Kepercayaan kepada para penggawa senior Die Rotten: Thomas Müller, Manuel Neuer dan Jerome Boateng, semuanya menikmati musim kebangkitan. Juga kepercayaan kepada para pemain muda Joshua Kimmich diberi peran favoritnya di lini tengah, dan Alphonso Davies diberi kesempatan untuk berkembang menjadi bek kiri paling berbahaya di dunia.
Termasuk yang jenius adalah saat menempatkan pemain muda, Kingsley Coman sebagai starter dalam final kemarin. Ini sungguh di luar perkiraan. Pasalnya, sejak restart, posisi winger kiri terus ditempati Ivan Perisic. Strateginya berhasil. Coman menjadi pahlawan kemenangan berkat tandukannya di menit ke 59 memanfaatkan umpan Joshua Kimmich. Ironisnya adalah, Coman ini jebolan akademi PSG yang delapan tahun menimba ilmu di sana.
Sempat empat kali membela PSG senior, sebelum dilepas dengan gratis ke Juventus, dan akhirnya menjadi bintang di Bayern. Bayern pun meraih trofi Liga Champions keenam kalinya. Sebelumnya mereka mengangkat trofi kuping lebar ini 1974, 1975, 1976, 2001, dan 2013. Pelatih kawakan seperti Carlo Ancelotti, dan Pep Guardiola pun gagal memenuhi harapan tertinggi klub.
Dan baru di tangan Flick hal itu berhasi diwujudkan. Yang membuat tim elite lain gemetar adalah, ini baru langkah awal dari Flick. Musim depan, dia kembali dengan persiapan yang pastinya jauh lebih matang.